Sabtu, 02 Februari 2013

GAYA BAHASA

1. Alegori Yaitu gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan yang utuh. Alegori merupakan metafora yng diperluas dan berkesinambungan, biasanya mengandung pendidikan dan ajaran moral. Contoh : Berhati-hatilah dalam mengemudikan bahtera kelangsungan kehidupan keluargamu, sebab lautan kehidupan ini penuh ranjau, topan yang ganas, batu karang, dan gelombang yang setiap saat dapat menghancurleburkan. Oleh karena itu, nakhoda harus selalu seia sekata dan satu tujuan agar dapat mencapai pantai bahagia dengan selamat. 2. Paradoks Yaitu gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta yang ada. Contoh : ▪ Mereka merasa tenang di tengah hiruk pikuknya Kota Surabaya. ▪ Musuh sering merupakan kawan yang akrab. 3. Klimaks Yaitu gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan. Contoh : Dua hari yang lalu korban gempa bumi berjumlah lima belas orang, kemarin bertambah menjadi dua puluh orang, sekarang terhitung sejumlah tiga puluh orang. 4. Antiklimaks Merupakan gaya bahasa kebalikan dari klimaks. Dalam gaya bahasa antiklimaks, susunan ungkapannya disusun makin lama makin menurun. Contoh : Bantuan itu disampaikan lewat bupati, lalu diserahkan kepada camat yang segera menyerahkan bantuan itu ke desa-desa yang mengalami bencana. 5. Sinekdoke a. Pars pro toto, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan sebagian, tetapi yang dimaksud keseluruhan ( meluas ). Contoh : ▪ Sudah lama Kak Rian tidak menampakkan batang hidungnya. ▪ Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,- b. Totem pro parte, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan, tetapi yang dimaksudkan sebagian ( menyempit ). Contoh : ▪ Pertandingan itu berakhir dengan kemenangan Medan. ▪ Bangsa Indonesia bersorak gembira ketika Tim Piala Thomas berhasil merebut piala kebanggan itu. 6. Alusio Yaitu gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa, tokoh, dan tempat yang sudah dikenal oleh banyak pembaca. Gaya bahasa ini juga menggunakan peribahasa, ungkapan, atau sampiran pantun yang isinya telah diketahui oleh umum. Contoh : ▪ Jangan seperti kura-kura dalam perahu. ▪ Sudah gaharu cendana pula. 7. Eufemisme Yaitu gaya bahasa yang berupa ungkapan-ungkapan halus untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar, kurang sopan, atau kurang menyenangkan. Contoh : ▪ Sayang, anak setampan itu hilang akal. ▪ Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka. 8. Perumpamaan Yaitu perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan, tetapi sengaja dianggap sama. Perbandingan ini secara eksplisit diterangkan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, dan laksana. Contoh : ▪ Dua bersaudara itu seperti minyak dengan air, tidak pernah rukun. ▪ Keluarga Hasmanan bagai mendapat durian runtuh, mendapat warisan yang tidak pernah diduga. 9. Metafora Yaitu perbandingan yang implisit, tanpa kata pembanding seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda. Contoh : ▪ Para kuli tinta mendengarkan dengan tekun penjelasan tentang kenaikan harga BBM. ▪ Benarkah dewi malam lambang kecantikan seorang wanita ? ▪ Mereka telah menjadi sampah masyarakat. 10. Personifikasi atau Penginsanan Yaitu gaya bahasa yang menggunakan sifat-sifat insani untuk barang yang tidak bernyawa. Contoh : ▪ Api membara menjilat rumah-rumah di sekitarnya. ▪ Dengarlah nyanyian pucuk-pucuk cemara. ▪ Ombak bergulung-gulung, lautan mengamuk. ▪ Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami. 11. Pleonasme Yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata-kata mubazir. Contoh : ▪ Saya menyaksikan pembakaran rumah itu dengan mata kepala saya sendiri. ▪ Segala caci maki dan sumpah serapah itu didengar Kamil dengan telinganya sendiri. 12. Hiperbola Yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan, atau membesar-besarkan sesuatu yang dimaksud dengan tujuan memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi, memperhebat, serta meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Contoh : ▪ Teriakan para pengunjuk rasa itu membelah angkasa. ▪ Kenangan indah itu tak terlupakan selama hayat dikandung badan. ▪ Cita-citanya melangit, padahal tak terlihat ada usahanya. ▪ Ketegangan di negara itu telah memuncak. 13. Litotes Yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, tujuannya untuk merendahkan diri. Litotes merupakan lawan dari hiperbola. Contoh : ▪ Pooling pendapat itu tidak mengecewakan lembaga swadaya masyarakat, penyelenggaranya. ▪ Jakarta sebagai kota metropolitan bukanlah kota yang kecil dan sepi. ▪ Kalau ada waktu datanglah sekali-sekali ke gubuk kami. 14. Ironi Yaitu gaya bahasa yang berupa sindiran halus berupa pernyataan yang maknanya bertentangan dengan makna sebenarnya. Contoh : ▪ Pagi benar engkau datang, Hen! Sekarang, baru pukul 11.00. ▪ Sepeda motormu bagus benar, catnya sudah mengelupas, dan joknya sudah bertambal-tambal. ▪ Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu. 15. Metonimia Yaitu gaya bahasa yang menggunakan nama cirri atau nama hal yang ditautkan dengan segala sesuatu sebagai penggantinya. Contoh : ▪ Sang Merah Putih berkibar dengan gagahnya di angkasa. ▪ Ia membeli sebuah Chevrolet. ▪ Pelajarilah H.B. Jassin halaman 201. 16. Antitesis Yaitu sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang. Contoh : ▪ Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan daripadanya. ▪ Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara. ▪ Hingga kini kusimpan engkau mesra dalam lubuk hatiku, tetapi mulai kini engkau kuenyahkan jauh-jauh bagai musuh yang kejam. 17. Simile atau Persamaan Yaitu gaya bahasaa yang menyatakan perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu yang menggunakan semacam alat formal untuk menyatakan hubungan, seperti : seperti, misalnya, sama, bagai, laksana, bagaikan, dan sebagainya. Contoh : ▪ Kikirnya seperti kepiting batu. ▪ Matanya seperti bintang timur. ▪ Bibirnya seperti delima merekah. Simile atau persamaan masih dapat dibedakan lagi atas : a. Persamaan tertutup, yaitu persamaan yang mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu. Pembaca atau pendengar diharapkan akan mengisi sendiri sifat persamaannya. Contoh : Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa tegang seperti mengikuti pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan kedudukan 14 – 14. b. Persamaan terbuka, yaitu persamaan yang tidak mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu. Contoh : Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa seperti mengikuti pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan kedudukan 14 – 14. 18. Parabel ( Parabola ) Yaitu suatu istilah yang dipergunakan untuk menyebut cerita-cerita khayal dalam kitab suci yang bersifat alegoris untuk menyampaikan kebenaran moral atau spiritual. Gaya bahasa parabel terkandung dalam seluruh karangan. Dengan secara halus tersimpul dalam karangan itu pedoman hidup, falsafah hidup yang harus digali di dalamnya. Parable mempunyai nilai didaktis ( mendidik ). Contoh : Bhagawat Gita ( terjemahan Amir Hamzah ), Hikayat Kalilah dan Daminah ( Baidaba ), Hikayat Mahabharata, Aki ( Idrus ), Bayan Budiman. 19. Simbolik Yaitu gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan benda-benda sebagai simbol atau perlambang. Contoh : ▪ Bunglon, lambang orang yang tak berpendirian tetap. ▪ Melati, lambang kesucian. ▪ Pahlawan, lambang keberanian. 20. Tropen Yaitu gaya bahasa kiasan yang mempergunakan kata-kata yang tepat dan sejajar maknanya dengan pengertian yang dimaksud. Contoh : ▪ Besok Bapak Presiden akan terbang ke Jepang. ▪ Sepanjang hari ia berkubur saja dalam kamarnya. ( tidak keluar-keluar ). ▪ Sudah berhari-hari ia mengukur jalan saja di kota itu. ( mondar-mandir tak jelas tujuannya ). 21. Asosiasi Yaitu semacam gaya bahasa yang memberikan perbandingan terhadap benda yang sudah disebutkan. Contoh : ▪ Mukanya pucat, bagai bulan kesiangan. ▪ Suaranya merdu, bak buluh perindu. ▪ Suaranya sember, seperti perian pecah. 22. Antonomasia Yaitu penggunaan kata sifat sebagai nama diri, atau nama diri sebagai nama jenis. Apabila seseorang kita panggil bukan dengan nama aslinya atau nama dirinya, melainkan dengan nama panggilan yang disebabkan oleh sifat yang dimilikinya atau ciri tubuhnya. Contoh : ▪ Orang yang tinggi atau jangkung dipanggil si Jangkung. ▪ Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. ▪ Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu. 23. Perifrase atau Perifrasis Yaitu gaya bahasa penguraian. Atau pengungkapan yang panjang sebagai pengganti pengungkapan yang lebih pendek. Kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh : ▪ Ia telah beristirahat dengan damai. ( = mati, meninggal ) ▪ Jawaban bagi permintaan Saudara adalah tidak. ( = ditolak ) ▪ Ketika Sang Surya keluar dari peraduannya, berangkatlah kami. ( = pagi-pagi ) 24. Repetisi Yaitu perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Contoh : ▪ Selama nafsuku masih mengalun, selama darahku masih mengalir di tubuhku, selama jantungku masih berdebur, aku belum akan menghentikan usahaku. ▪ Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam ? Macam-macam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat. Yang penting di antaranya : a. Epizeuksis, yaitu repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh : Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketinggalan kita. b. Tautotes, yaitu repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Contoh : Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru. c. Anafora, yaitu repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Contoh : Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah-sadar pemakai bahasa Indoneisa, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya. d. Epistrofa, yaitu repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh : Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari adalah puisi Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki adalah puisi Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli adalah puisi Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali adalah puisi e. Simploke ( symploche ), yaitu repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh : kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin f. Mesodiplosis, yaitu repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh : Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goring Para pembesar jangan mencuri bensin Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri g. Epanalepsis, yaitu pengulangan yang berwujud kata terakhir dari bari, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh : ▪ Kita gunakan pikiran dan perasaan kita. ▪ Kami cintai perdamaian karena Tuhan kami. ▪ Berceritalah padaku, ya malam, berceritalah. ▪ Kuberikan setulusnya, apa yang harus kuberikan. h. Anadiplosis, yaitu kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh : dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara dalam mutiara : ah tak ada apa dalam baju ada aku, dalam aku ada hati dalam hati : ah tak apa jua yang ada dalam syair ada kata, dalam kata ada makna dalam makna : Mudah-mudahan ada Kau ! Istilah anadiplosis sering dipakai secara timbal balik dengan istilah epanadiplosis dan epanastrofa. 25. Anafora Yaitu repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya ( perulangan kata atau frase yang sama bukan dalam sebuah kalimat, melainkan dalam dua atau lebih kalimat berurutan. Pengulangan kata atau frase itu khususnya terdapat pada awal kalimat yang berurutan ). Contoh : Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah-sadar pemakai bahasa Indoneisa, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya. Junjunganku apatah kekal Apatah tetap Apatah tak bersalin rupa Apatah baqa sepanjang masa . . . . ( Dari Buah Rindu, Amir Hamzah ) 26. Epifora Yaitu gaya bahasa kebalikan anafora ( persajakan ). Epifora menggunakan perulangan kata atau bunyi pada akhir beberapa kalimat atau larik. Contoh : Kekasihku seperti nyawa pun adalah terkasih dan mulia juga, Dan nyawaku pun, mana daripada nyawa itu jauh ia juga; Jika seribu tahun lamanya pun hidup ada sia-sia juga. Hanya pada nyawa itu hampir dengan sedia suka juga, Nyawa itu yang menghidupkan senantiasa nyawa manusia juga, Dan menghilangkan cintanya pun itu kekasihku yang setia juga; Kekasihku itu yang mengenak hatiku dengan rahasia juga. Bukhari yang ada serta nyawa itu ialah berbahagia juga. ( Gazal dalam Puisi Lama, STA ) Kelapa jatuh, Mumbang jatuh. Yang tua mati, Yang muda mati. 27. Paralelisme Yaitu pemakaian yang berulang-ulang ujaran yang sama dalam bunyi, tata bahasa, atau makna, atau gabungan dari kesemuanya ; ciri khas dan bahasa puitis ( dalam puisi ). Dalam paralelisme yang diulang adalah kata, bagian kata, atau pengertiannya. Atau semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Contoh : ▪ Sangatlah ironis kedengaran bahwa ia menderita kelaparan dalam sebuah daerah yang subur dan kaya, serta mati terbunuh dalam sebuah negeri yang sudah ratusan tahun hidup dalam ketentraman dan kedamaian. ▪ Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas. ( Tidak baik : Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi kita juga harus memberantasnya. ) ▪ Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah, harus diadili kalau bersalah. ( Tidak baik : Baik golongan yang tinggi maupun mereka yang rendah kedudukannya, harus diadili kalau bersalah. ) Bentuk paralelisme merupakan sebuah bentuk yang baik untuk menonjolkan kata atau kelompok kata ( frase ) yang sama fungsinya. Namun bila terlalu banyak digunakan, maka kalimat-kalimat akan terasa kaku dan mati. 28. Tautologi Yaitu gaya bahasa penegasan dengan mengulang beberapa kali sepatah kata dalam sebuah kalimat. Dapat pula mempergunakan beberapa kata yang bersinonim berturut-turut dalam sebuah kalimat. Dapat pula disebut gaya bahasa sinonimi karena mempergunakan kata-kata yang bersinonim. Contoh : ▪ Sungai itu terlalu amat dalam sekali. ▪ Disuruhnya saya bersabar, bersabar, dan sekali lagi bersabar, tetapi aku tak tahan lagi. ▪ Siapa pun akan tertarik kepada orang yang ramah, baik hati serta berbudi seperti dia. ▪ Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. ▪ Globe itu bundar bentuknya. 28. Inversi Yaitu gaya perubahan urutan bagian-bagian kalimat. Gaya bahasa inversi digunakan apabila predikat kalimat hendak lebih ditonjolkan atau dipentingkan daripada subyeknya. Sehingga predikat terletak di depan subyeknya. Contoh : ▪ Besar sekali gajinya. ▪ Padamlah lampu itu. ▪ Tak terhitung pengunjung itu. Inversi dapat dibedakan menjadi 3 macam : a. Releverade Inversi ( inversi tekanan ) Inversi jenis ini mementingkan tekanan untuk menegaskan maksud. Predikat kalimat ditaruh di depan agar memperoleh tekanan lebih dari subyeknya. Contoh : ▪ Anak itu nakal ( susunan biasa). ▪ Nakal anak itu ( inversi, susun balik, atau susunan khusus ). ▪ Lantai ini kotor ( susunan biasa ). ▪ Kotor lantai ini ( inversi ). b. Vertel Inversi ( inversi bercerita ) Inversi jenis ini dipakai untuk bercerita, untuk menegaskan peristiwa-peristiwa yang baru lagi penting. Inversi ini dipergunakan juga untuk dramatisasi, banyak ditemukan di dalam sastra lama. Contoh : ▪ Maka dipeliharakannyalah anaknya itu, maka terlalulah amat kasih sayangnya akan anak itu. ▪ Maka dilihatnya Hang Jebat mengusir orang di luar negeri itu. c. Functiloze Inversi ( inversi tak berfungsi ) Inversi jenis ini tidak mempunyai fungsi apa pun. Contoh : ▪ Di kota besar itu dia berusaha mencari pekerjaan. ▪ Di kota besar itu berusaha dia mencari pekerjaan. 29. Elipsis Yaitu sebuah gaya bahasa dengan menghilangkan satu kata atau lebih yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengarnya, sehingga struktur gramatikalnya memenuhi pola yang berlaku. Contoh : ▪ Kalau masih belum jelas, akan saya terangkan sekali lagi ! ( yang akan diterangkan tidak disebutkan ). ▪ Pergilah ke rumah nenekmu sekarang juga ! ( yang disuruh pergi tidak disebutkan ). Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat disebut anakoluton, misalnya : ▪ Jika anda gagal melaksanakan tugasmu … tetapi baiklah kita tidak membicarakan hal itu. Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat itu dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis. 30. Retoris ( Oratoris ) Yaitu semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban ( gaya bahasa penegasan ). Gaya bahasa ini mempergunakan kalimat tanya tak bertanya, sering menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek. Dalam bahasa pidato bukan dimaksudkan untuk bertanya, melainkan untuk menegaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin. Contoh : ▪ Mana mungkin orang meninggal bisa hidup kembali ? (menegaskan) ▪ Inikah kerja namanya ? (maksudnya : hasil pekerjaanmu ini sangat tidak memuaskan ; untuk mengejek) ▪ Siapa pula yang mau ditindas terus-menerus ? 31. Koreksio ( correction ) Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya bahasa yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu / mengemukakan hal yang salah atau kurang baik dengan sengaja atau tidak, tetapi kemudian memperbaikinya. Contoh : ▪ Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. ▪ Gadis itu memakai baju hijau muda, bukan, hijau tua. ▪ Silakan pulang Saudara-saudara, eh maaf, silakan makan ! 32. Asindeton ( asyndeton ) Yaitu penghilangan konjungsi ( kata sambung ) dalam frase atau klausa atau kalimat. Suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat, tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar : Veni, vidi, vici “ saya datang, saya lihat, saya menang “. Contoh : ▪ Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji-imaji, metode, prosedur dijungkir balik, masih itu-itu juga. ▪ Laki-laki perempuan, tua muda, besar kecil, pegawai, tukang becak, orang kampung, semuanya datang menyambut kedatangan regu Piala Thomas kita. ▪ Kita berjuang dengan hati panas, kepala dingin. 33. Polisindeton ( polysindeton, syndesis ) Yaitu suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frase, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung ( konjungsi ). Contoh : ▪ Setelah pelajaran usai, maka berkemas-kemaslah murid-murid hendak pulang, karena jam pelajaran terakhir telah habis, lalu mereka berdoa dipimpin oleh ketua kelas. 34. Kiasmus ( chiasmus ) Yaitu semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frase atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frase atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frase atau klausa lainnya. Contoh : ▪ Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. ▪ Uang itu sudah kutabung di bank, tak ada lagi uang di rumah. 35. Sinisme Yaitu gaya bahasa sindiran, tetapi lebih kasar dari ironi, berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Boleh mempergunakan kata yang mengandung makna sebaliknya seperti ironi, tetapi dalam nada suara orang berkata terdengar nada sindiran yang kasar. Contoh : ▪ Muak aku melihat perangaimu yang tak juga berubah ! ▪ Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu ! ▪ Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. 36. Sarkasme Yaitu gaya bahasa sindiran yang paling kasar ( perkataan yang menyakitkan / suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir ). Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunanai sarkasmos yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “ merobek-robek daging seperti anjing “, “ menggigit bibir karena marah “, atau “ berbicara dengan kepahitan “. Contoh : ▪ Otakmu otaku dang rupanya ! ▪ Cih, mukamu yang seperti monyet itu, jijik aku melihatnya ! ▪ Lihat sang Raksasa itu ! (maksudnya si Cebol) 37. Oksimoron Oksimoron ( okys = tajam, moros = gila, tolol ) adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Contoh : ▪ Keramah-tamahan yang bengis. ▪ Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi kasar. ▪ Itu sudah menjadi rahasia umum. ▪ Keindahan yang memuakkan. ▪ Dengan membisu seribu kata, mereka sebenarnya berteriak-teriak agar diperlakukan dengan adil. 38. Eponim Yaitu nama tempat atau pranata yang dibentuk menurut nama orang. Nama orang itu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Contoh : ▪ Orang kuat disebut dengan nama ‘Hercules‘. ▪ Helen dari Troya dipakai untuk menyatakan kecantikan. ▪ Simsom dipakai untuk menyatakan orang kuat. 39. Paranomasia ( pun ) Yaitu gaya bahasa yang mempergunakan permainan kata-kata dengan memanfaatkan polisemi atau homonimi. Jadi, gaya bahasa ini didasarkan kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Contoh : ▪ Tanggal dua gigi saya tanggal dua. (tanggal : a. hari bulan ; b. terlepas) ▪ Anak kecil itu mengukur punggung ayahnya yang sedang mengukur panjang kain. (mengukur : a. menggaruk ; b. menghitung) ▪ Jangan meminta jangan kangkung saja ! (jangan : a. melarang ; b. sayur) ▪ Lirik matanya menyentuh perasaan para penonton. (lirik : a. kerling ; bukan semacam sajak curahan hati) 40. Silepsis Dalam gaya bahasa ini orang menggunakan sebuah kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi lebih dari satu konstruksi sintaksis. Jadi, kata yang dipakai itu secara gramatikal benar, tetapi kata itu diterapkan pada kata yang lain yang sebenarnya mempunyai makna lain. Contoh : ▪ Orang itu telah kehilangan topi dan semangatnya. ▪ Kami sedang mempelajari bagaimana fungsi dan sikap bahasa dalam pemakaiannya. 41. Zeugma Dalam gaya bahasa ini orang menggunakan sebuah kata untuk menerapkan atau menunjukkan dua kata lain sedemikian rupa sehingga memberikan makna yang berbeda kepada tiap-tiap kata itu. Jadi, dalam zeugma kata yang dipergunakan itu tidak cocok untuk kata yang kedua ( baik secara semantis, atau logis, maupun secara gramatikal ). Contoh : ▪ Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. ▪ Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada tamu yang baru saja datang. 42. Aliterasi Yaitu gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang dimulai dengan konsonan yang sama. Biasanya terdapat dalam puisi. Contoh : ▪ Takut titik lalu tumpah. 43. Simetri Yaitu semacam gaya bahasa yang mempergunakan kalimat yang diikuti oleh bagian-bagian kalimat yang seimbang bentuk dan isinya. Contoh : ▪ Dilihatnya alamat pada amplop itu dengan saksama, diperhatikannya rumahku dengan senyumnya, dibukanya pintu masuk ke halaman rumahku perlahan-lahan, sebenarnya aku ingin segera menghambur ke luar, tetapi rasa malu menghalangi maksudku. ▪ Di dalam bilik yang sempit, tidak terpelihara itu, berdinding kotor berlantai kotor, dia belajar dengan tekun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar